“Allaaahu akbar Allaaahu akbar...”
Suara adzan shubuh merdu dari mushala tak jauh dari rumah terdengar sayup di telinga, membangunkan pak Slamet dari tidurnya. Bunyi "sreeenggg” terdengar dari arah dapur seiring dengan aroma minyak panas tercampur dengan bahan yang tergoreng di dalamnya. Matanya mengerjap-ngerjap menahan kantuk dan mulai duduk dari tempat tidurnya.
“Teplak teplak” suara sendal jepit menuju ke kamar,
"Pak sudah bangun toh, kayu didapur sudah mau habis.”
Suara lembut itu dari Aya, istri pak Slamet yang kini sedang berdiri dan tangannya menahan tirai pintu kamar.
"Hoaaam”
Tangan pak Slamet mengguliyat ke atas dan mulai turun dari kasurnya,
“Iyaa, sebentar.”
Jawabnya pelan, kakinya melangkah terpaksa sambil menahan kantuk menuju arah kamar mandi diluar.
"Maa aku ke mushala dulu.”
Seru pak Slamet yang tengah berdiri di dapur dan membungkuk meletakan kayu bakar perlahan di samping tungku (orang Jawa menyebutnya pawon dan orang Sunda menyebutnya hawu).
* * *
Terdapat sebuah pemukiman warga terpencil di dataran rendah dekat pantai dekat juga dari gunung. Desa itu dialiri sungai besar yang memiliki anak sungai bercabang-cabang. Pemerintah dan para akademik menyebutnya irigasi sekunder dan dipecah lagi menjadi irigasi tersier, sedang para petani daerah menyebutnya sier sebagian menyebutnya irigasi. Diantara irigasi tersier membentang pesawahan yang luas dikelilingi pemukiman warga. Desa ini berada di wilayah tropis yang subur tanahnya, lembab udaranya, hangat suhunya. Sangat mudah bagi tanaman tumbuh dan berkembang. Kekayaan alam berlimpah ruah, mulai dari makhluk mikroorganisme seperti fungi dan bakteri hingga hewan besar di air maupun di darat. Sangat beragam, sedang di dalam tanahnya terkumupul berlimpah mineral hingga logam mulia. Keragaman ini menjadi penjaga ekosistem di alam agar tetap lestari. Para negeri tetangga menyebutnya sepotong tanah surga dari langit.
"Pak ada berita apa itu? Fokus amat.”
Tanya Aya yang tengah berdiri di ruang tamu, perlahan membungkuk menaruh secangkir kopi dan gorengan tempe dari baki yang dipegang tangan kirinya ke atas meja.
"Oh bukan berita juga si ma, ini selembar kertas nemu dibawah meja."
Jawabnya santai. Matanya masih tertuju kepada kertas yang dibacanya.
"Eh, tanda-tanda daerah yang ditulis kertas ini mirip di daerah kita loh ma. Tidak jauh dari gunung dekat juga dengan pantai. Apa benar daerah kita ini sepotong tanah surga dari langit?"
Lanjut pak Slamet seraya mengambil satu gorengan di piring, kemudian meraih secangkir kopi yang masih panas dengan tangan kirinya di meja.
Mencoba meneguknya namun malah lidahnya tersulut panas, wajahnya meringis menahan panas.
" buru-buru amat minumnya Pak, kan kopinya baru aja turun ke meja."
Aya terkekeh melihat kelakuan suaminya dan mengambil sobekan kertas ditangan pak Slamet secara tiba-tiba.
"Ini sobekan buku dongen si Icha kali pak. Kemarin aku liat dia megangin buku sama temenya, yang namanya dongeng kan palingan cerita hayalan. Buktinya kita makan aja susah, Pak."
Pria ini hobi sekali bersantai pagi dengan mengopi dan sarapan ringan seadanya seperti gorengan, singkong goreng atau bahkan terkedang cukup kopi hitam dan gula satu sendok setengah untuk menyiapkan energinya di tengah terik matahari, umurnya sudah paruh baya, penampilannya seperti cara bicaranya sederhana, meski berpostur tubuh pendek dan ramping akan tetapi tidak banyak berkeluh kesah bertahunan menjadi petani sekaligus buruh kasar seperti memanggul puluhan kg padi berjarak ratusan meter dari sawah ke jalan tepian sawah serta membawanya dengan sepeda puluhan km tidak membuatnya menyerah. Di ujung timur pesawahan ia membangun keluarga dengan aya seorang penjahit anak pak iyo kampung sebelahnya. Sebenarnya aya baru 4 tahun menjadi penjahit setelah 2 tahun lulus SMA. Anak zaman sekarang menyebutnya mahmud (mamah muda), cukup beruntung pak slamet dapat istri yang masih muda, sangat giat dan sabar. Postur tubuhnya kaya labu siam tinggi dan berisi, warna kulitnya sawo matang ditambah senyumannya manis.
“cekleek” bunyi pintu terbuka
Seorang anak perempuan keluar dari kamar kemudian meraih tangan pak Slamet dan istrinya
“Assalamualaikum Pak, Ma. Icha berangkat sekolah dulu."
“Iya, waaliakumussalam,”
Jawab keduanya bersamaan.
“Hati-hati nak di jalan, salam buat pak guru dan bu guru ya."










